Kisah Farmasi Muda dengan Seminar
Mengingat
tentang seminar tahunan yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Farmasi
Muhammadiyah Tangerang yang bertemakan “To Become A Pharmacist in Gold
Indonesia at 2045” dengan narasumber yang didatangkan langsung dari negeri
jiran Malaysia Dr.Baharudin Ibrahim, B.Pharm., M.Farm., PhD. Begitu banyak hal
yang saya simak hingga membuat saya tercengang akan perkembangan Farmasi di
negeri jiran tersebut. Indonesia memang masih sangat tertinggal jauh dengan
malaysia dalam bidang Farmasi utamanya, bayangkan ketika di Indonesia terdapat
Vaksin palsu yang konon katanya sudah tersebar sejak lama namun baru terungkap
baru-baru ini. Sedangkan di Malaysia Vaksin dianggap sebagai barang haram
karena didalamnya masih terkandung unsur ‘pig’ . begitu sadarnya masyarakat
Malaysia akan hal seperti ini, mereka memilih untuk tidak menggunakan vaksin
dan membiarkan tubuh membentuk daya tahan secara alami tanpa bantuan vaksin dan
semacamnya. Belum lagi perkembangan dunia Farmasi di Malaysia mengenai obat
yang bisa di pesan melalui online. Perbedaan yang cukup signifikan ini menjadi
santapan siang di seminar kala itu, karena mendatangkan para pemuka Farmasi se-banten
untuk menggelar diskusi terbuka tentang perdulinya Farmasis tentang perbedaan
jauh ini.
Ketika
asik mendengarkan diskusi terbuka ini saya sempat meninjau bahwa angka
pengangguran sarjana Farmasi khususnya di Banten disebabkan karena posisi atau
tugas yang seharusnya ditempatkan oleh para Farmasis malah diduduki oleh
lulusan non-farmasi, miris memang, ketika pekerjaan seorang farmasis dianggap
mudah dan sepele (hanya mengambil obat dan menyerahkannya kepada pasien) hingga posisi ini bisa dilakukan oleh siapa
saja, sarjana ekonomi sekalipun. Namun ketika kita melihat kebelakang dengan
kasus-kasus kesalahan pemberian obat, farmasislah yang dipertanyakan. Dalam
seminar dibahas kesalah-kesalahan seperti ini banyak disebabkan karena ketidak
telitian farmasis ataupun posisi farmasi yang diduduki oleh seorang
non-farmasi. Namun ketika kesalahan dilakukan oleh farmasis orang cenderung
memandang asal lulusan atau kampus tempat dia belajar.
Sebagai
seorang mahasiswi farmasi saya mengamati 85 dari 100 mahasiswa/i beranggapan
kuliah hanya untuk mendapatkan ijazah dan kerja dengan gaji yang mumpuni karena
sudah menyandang gerlar sarjana, sehingga mahasiswa/i menganggap belajar
bukanlah hal yang penting dan tidak memiliki rasa tanggung jawab sebagai
farmasis. Sehingga ketika menduduki bangku kuliah mereka tidak mendapatkan
etika maupun rasa tanggung jawab sebagai farmasis yang seharusnya. Hal inilah
yang menyebabkan minimnya kualitas dan kuantitas seorang sarjana Farmasi.
Sehingga timbullah kasus-kasus yang seharusnya tidak terjadi. Padahal kurikulum
sudah dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat melahirkan farmasis farmasis yang
bertanggung jawab dan perduli akan kesehatan pasien.
Selain
itu jam kunjung farmasis di Indonesia jarang sekali dilakukan dirumah sakit
rumahsakit besar sekalipun. Padahal kunjungan farmasis bertujuan untuk
mendapatkan dialog antara farmasis dengan pasien sehingga mendapatkan ADME yang
terjadi pada pasien, sehingga terciptalah pasien yang sehat dan mengurangi
angka kesalahan pemberian obat pada pasien.
mohon maaf bila ada salah salah kata atau pengetikan, semata-mata hanya untuk mengeluarkan pendapat dan membuka wawasan kita semua. Terimakasih wassalamu'alaikum..
Salam Farmasi Muda..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar