Kamis, 25 Agustus 2016

Kisah Farmasi Muda dengan Seminar



Kisah Farmasi Muda dengan Seminar 

Mengingat tentang seminar tahunan yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Farmasi Muhammadiyah Tangerang yang bertemakan “To Become A Pharmacist in Gold Indonesia at 2045” dengan narasumber yang didatangkan langsung dari negeri jiran Malaysia Dr.Baharudin Ibrahim, B.Pharm., M.Farm., PhD. Begitu banyak hal yang saya simak hingga membuat saya tercengang akan perkembangan Farmasi di negeri jiran tersebut. Indonesia memang masih sangat tertinggal jauh dengan malaysia dalam bidang Farmasi utamanya, bayangkan ketika di Indonesia terdapat Vaksin palsu yang konon katanya sudah tersebar sejak lama namun baru terungkap baru-baru ini. Sedangkan di Malaysia Vaksin dianggap sebagai barang haram karena didalamnya masih terkandung unsur ‘pig’ . begitu sadarnya masyarakat Malaysia akan hal seperti ini, mereka memilih untuk tidak menggunakan vaksin dan membiarkan tubuh membentuk daya tahan secara alami tanpa bantuan vaksin dan semacamnya. Belum lagi perkembangan dunia Farmasi di Malaysia mengenai obat yang bisa di pesan melalui online. Perbedaan yang cukup signifikan ini menjadi santapan siang di seminar kala itu, karena mendatangkan para pemuka Farmasi se-banten untuk menggelar diskusi terbuka tentang perdulinya Farmasis tentang perbedaan jauh ini.


Ketika asik mendengarkan diskusi terbuka ini saya sempat meninjau bahwa angka pengangguran sarjana Farmasi khususnya di Banten disebabkan karena posisi atau tugas yang seharusnya ditempatkan oleh para Farmasis malah diduduki oleh lulusan non-farmasi, miris memang, ketika pekerjaan seorang farmasis dianggap mudah dan sepele (hanya mengambil obat dan menyerahkannya kepada pasien)  hingga posisi ini bisa dilakukan oleh siapa saja, sarjana ekonomi sekalipun. Namun ketika kita melihat kebelakang dengan kasus-kasus kesalahan pemberian obat, farmasislah yang dipertanyakan. Dalam seminar dibahas kesalah-kesalahan seperti ini banyak disebabkan karena ketidak telitian farmasis ataupun posisi farmasi yang diduduki oleh seorang non-farmasi. Namun ketika kesalahan dilakukan oleh farmasis orang cenderung memandang asal lulusan atau kampus tempat dia belajar.
Sebagai seorang mahasiswi farmasi saya mengamati 85 dari 100 mahasiswa/i beranggapan kuliah hanya untuk mendapatkan ijazah dan kerja dengan gaji yang mumpuni karena sudah menyandang gerlar sarjana, sehingga mahasiswa/i menganggap belajar bukanlah hal yang penting dan tidak memiliki rasa tanggung jawab sebagai farmasis. Sehingga ketika menduduki bangku kuliah mereka tidak mendapatkan etika maupun rasa tanggung jawab sebagai farmasis yang seharusnya. Hal inilah yang menyebabkan minimnya kualitas dan kuantitas seorang sarjana Farmasi. Sehingga timbullah kasus-kasus yang seharusnya tidak terjadi. Padahal kurikulum sudah dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat melahirkan farmasis farmasis yang bertanggung jawab dan perduli akan kesehatan pasien.
Selain itu jam kunjung farmasis di Indonesia jarang sekali dilakukan dirumah sakit rumahsakit besar sekalipun. Padahal kunjungan farmasis bertujuan untuk mendapatkan dialog antara farmasis dengan pasien sehingga mendapatkan ADME yang terjadi pada pasien, sehingga terciptalah pasien yang sehat dan mengurangi angka kesalahan pemberian obat pada pasien. 

mohon maaf bila ada salah salah kata atau pengetikan, semata-mata hanya untuk mengeluarkan pendapat dan  membuka wawasan kita semua. Terimakasih wassalamu'alaikum..

Salam Farmasi Muda..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar